Senin, 16 Agustus 2010

Dee's first fanfict. ^^Take Care of My Girlfriend^^ EPS01 part2

Kukenakan pakaian terbaikku untuk pergi keluar dengan Kibum oppa malam ini. Bukan pakaian mewah dan mahal seperti seharusnya. Karena malam ini udara tidak begitu dingin, aku hanya mengenakan t-shirt berwarna pink yang kupadukan dengan rok selutut berwarna cerah senada. Kukenakan pula cardigan putih bergaris pink yang dibelikan Eunhyuk oppa beberapa waktu lalu. Sangat girlly, tapi aku tahu Kibum oppa akan menyukainya. Sebenarnya aku tahu dia akan selalu menyukai apapun yang kukenakan. Rambut panjangku hanya kukuncir kuda seperti biasa.
Beberapa kali aku memutar tubuhku di cermin, memastikan penampilanku sempurna untuk namjachinguku tersayang. Sebenarnya pergi kencan dengan Kibum oppa sudah merupakan hal biasa yang kalau aku mau bisa kulakukan setiap hari. Tapi entah kenapa, bertemu Kibum oppa selalu terasa special bagiku. Aku baru akan keluar kamar ketika seseorang memutar engsel pintu kamarku.
“Kibum, Shin.” Kata umma sambil berjalan menghampiriku. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
“Cantiknya. Kalian mau pergi ke mana?” Tanya umma sambil membelai rambutku dan membetulkan pakaianku.
“Belum tahu, umma. Mungkin makan.” Kataku sambil berjalan keluar kamar dan diikuti umma.
Nae wangja sudah berada di ruang tamu bersama appa ketika aku berjalan menuruni tangga. Dia selalu terlihat tampan di mataku. Hanya dengan mengenakan atasan t-shirt putih dan jaket sporty saja dia sudah tampak sempurna. Aku sangat mengaguminya. Pertama melihatnya aku merasa kibum oppa sangat berbeda dengan teman-teman laki-lakiku yang lain. Fisiknya sempurna, di mataku setidaknya. Bibirnya sangat cantik. Membentuk lengkungan indah yang lebih cantik dari milikku sebagai perempuan. Tapi tetap saja wajahnya terlihat tampan sebagai laki-laki. Tapi aku lebih suka mata sendumya yang indah, teduh sekali ketika aku melihat ke kedalamannya.
Aku menyukai apapun yang ada dalam dirinya.

*Terimakasih, Tuhan. Kupikir dia terlalu sempurna. Tapi aku tak ingin kesempurnaan itu Kau kurangi hanya karena aku mengatakan terlalu.*
₪₪₪₪₪₪₪

Kibum POV
Gadisku sangat cantik. Bagaimanapun, dia memang selalu yang tercantik. Shin Neul menuruni tangga bersama ummanya menghampiriku.
“Annyong hasseo, oppa.” sapanya padaku. Suaranya nyaring, seperti kepribadiannya yang ceria dan kadang manja. Dia bahkan tidak sungkan bersikap seperti anak kecil padaku di depan umma dan appanya. Tapi aku memang sangat senang memanjakannya. Aku suka sikap apa adanya dia.
“Annyeong hasseo.” Jawabku. Aku beranjak untuk berpamitan pada umma dan appa Shin. “kami pergi dulu ajumma, ajusshi.” Kataku sambil sedikit membungkukkan tubuhku.
“Jangan pulang terlalu malam, ya.” Pesan appanya.
Kuulurkan tanganku ke arah Shin untuk menggandengnya. Jemari kecilnya yang lembut disusupkan ke sela-sela jemariku. Kami keluar dari rumahnya melewati Eunhyuk hyung yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya di teras rumah.
“Hyung.” Sapaku.
“Waah. Pada mau kencan nih.” Guraunya, mengalihkan perhatian dari laptopnya.
“Iya laah… oppa donk cari chagiya.” Kata Shin meledeknya.
“Mulai deh, Shin..” protes Eunhuk hyung.
Shin Neul dan Eunhyuk hyung selalu dekat satu sama lain. Dia pernah mengatakan bahwa sifatku terkadang mirip dengan sikap Eunhyuk hyung. Mungkin karena kami sama-sama sangat menyayanginya. Aku bisa melihat betapa Eunhyuk hyung sangat menyayangi dongsaengnya itu.
“Ayo berangkat.” Bisikku pada Shin Neul sebelum dia mulai kucing-kucingan dengan oppanya. “Annyeong. Hyung.” Sambarku sambil menariknya ke mobil.
“Annyeong. Josin hasseyo.”
“Bye, oppa.” teriak Shin Neul.
“Take care, dear.” Jawab Eunhyuk hyung.
₪₪₪₪₪₪₪

“Kita mau ke mana, oppa?” Tanya Shin Neul di dalam mobil.
“Memang Shin maunya ke mana?” aku balik bertanya membuat keningya berkerut.
“Lhoh… kok oppa malah tanya balik. Kan oppa yang mengajakku.”
“Bagaimana kalau kita ke bukit?”
“Mwo?? Malam-malam begini? Kau gila ya, oppa?” tanyanya kaget.
Yang kumaksud adalah padang rumput yang hijau terbentang di suatu sisi jalan raya yang biasa kami lewati setiap hari. Entah kenapa Shin selalu menyebutnya bukit, padahal itu sama sekali bukan bukit yang sebenarnya. Hanya saja memang di bagian tengah padang itu struktur tanahnya sedikit lebih tinggi dari yang lain. Bukit itu adalah tempat favorit kami, walaupun kami tidak terlalu sering ke sana. Pemandangan yang hijau dan teduh membuat kami betah berlama-lama diam di sana. Tidak ada apa-apa. Hanya kami, rumput, angin, dan sinar hangat mentari musim semi. Apa lagi yang lebih menenangkan daripada ini?
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Memangnya kita mau apa pergi ke bukit malam-malam begini?”
“Sudah, kau ikuti apa kataku saja, Shin onna. Sekarang kita makan malam dulu. Baru kita ke sana.”
“Oppa mempersiapkan sesuatu, ya?” tebaknya tiba-tiba.
“Aku tidak pernah mempersiapkan apa-apa.”
“Karena semua yang dari oppa selalu menjadi kejutan untukku meskipun tidak pernah sengaja dipersiapkan.” Katanya membuatku melambung. Kubelai rambut gelapnya yang halus dan panjang, dan selalu dikuncir kuda.
Kami sudah selesai makan malam. Bukan candle light dinner super romantis seperti yang selalu dilakukan pasangan lain, hanya makan malam di restoran biasa yang ramai pengunjung. Bukan restoran mewah yang sunyi dan menyuguhkan makanan asing yang menyebutkan namanya saja membuat lidah terkilir. Aku beruntung mendapat Shin yang bisa bersikap sederhana dan tidak macam-macam.
Dan sesuai janjiku, aku mengajaknya ke bukit kita. Bukit kita, begitulah Shin menyebutnya. Karena setiap kami ke sana, tidak pernah ada orang lain yang menikmati keindahan bukit kami, hanya kami yang tahu suasana tenang di bukit itu.
“Indah sekali, oppa…” teriak Shin kegirangan sambil menengadahkan kepalanya melihat bintang-bintang yang bertebaran di atas kepalanya. “kupikir bukit ini akan gelap sekali malam hari. Tak kusangka tetap seindah ini. Lebih indah dari siang hari, bintang-bintang itu seperti tergantung tepat di atas kepalaku, oppa. Ini betul-betul indah. Bagaimana oppa tahu semua ini?” Shin menceracau girang.
“Aku sering ke sini sendiri malam-malam kalau sedang suntuk di rumah. Pertama aku juga terperangah sepertimu, Shin. Indah, bukan?”
Shin Neul mengangguk heboh.
Dia berlari ke tengah bukit dan menjatuhkan badannya di atas rumput yang lembab karena embun. Berbaring di sana sambil masih mengagumi apa yang baru saja kutunjukkan ini. Beruntung malam ini bulan bersinar terang. Aku bisa melihat rona wajahnya yang tak berhenti menyunggingkan senyum. Kurebahkan tubuhku di sampingnya sambil menyilangkan kedua lenganku di belakang kepala sebagai alas.
“Khamsa hamnida, oppa. Saranghae.” Katanya tanpa melihat ke arahku yang sudah berada di sampingnya.
“Cheonmanneyo, Shin. Aku tahu tanpa kau perlu mengatakannya.”
Shin Neul menoleh ke arahku.
“Oppa. kau selalu memberiku yang terbaik, sementara aku tidak pernah memberimu apa-apa. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kau ini bicara apa? Aku tidak pernah meminta apa-apa darimu, Shin. Cukup dengan kau selalu bersedia berada di dekatku saja sudah lebih dari sebuah balasan apapun bentuknya.”
“Kalau itu tidak perlu kau mintapun aku akan selalu melakukannya, oppa. Itu seperti kebiasaan yang akan terus kulakukan secara alami. Bagaimana mungkin aku bisa berada jauh darimu? Hal itu tak pernah terpikirkan olehku, oppa.”
Shin Neul beringsut mendekatiku, menumpukan kepalanya di lenganku. Sebagian rambutnya berkibar tertiup angin sepoi dan menerpa wajahku. Aku suka sekali aroma rambutnya. Sangat khas Shin Neul.
Lama sekali kami saling diam. Bergelut sendiri-sendiri dengan pikiran masing-masing. Sesekali Shin Neul tersenyum sendiri, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
“Apa yang kau pikirkan, Shin?”
“Banyak.”
“Tentang kita?”
“Sebagian iya.”
“Apa itu?”
Tiba-tiba Shin Neul bangun. Terduduk sambil menyilangkan lengannya.
“Kau kedinginan?” tanyaku. Aku mengikutinya bangun dan duduk di sampingnya.
Shin menggelengkan kepalanya.
“Tidak, oppa.” dia menoleh ke arahku dan menyipitkan matanya. “kalihatannya justru oppa yang kedinginan. Kenapa wajahmu pucat oppa? kau sakit? Akhir-akhir ini kau terlihat kurang sehat, oppa.”
“Jinja? Aku baik-baik saja, mungkin hanya perasaanmu saja. Kalaupun sakit, aku akan langsung sembuh ketika berada di dekatmu.”
Shin Neul tertawa.
“Dasar gombal! Sejak kapan kau jadi pembual seperti ini, hah?”
“Serius.” Tanganku terangkat membentuk huruf V.
“Kalau begitu aku juga mau bilang kalau aku tidak akan pernah kedinginan selagi berada di dekatmu. Melihat wajahmu saja sudah membuatku hangat.”
“Wow. Ternyata kau lebih pintar membual daripada pria ya.” Kuacak rambutnya gemas. Bibirnya merengut ketika tahu rambutnya kubuat berantakan.

*Aku memang merasa sakit.
Lebih sakit ketika tahu kau tidak sedang berada di depan mataku.
Berada di sini bersamamu meskipun kedinginan sampai besok pagi rasanya lebih menyenangkan.
Aku sakit karena kecanduan berada di dekatmu.
Jadi, apa yang sedang kau pikirkan, onna?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar